top of page

Kristenisasi di Jantung Ibu Kota, Akankah Terjadi Lagi?


Ahad, 2 November 2014, saat itu kami sudah berada di kawasan Sarinah Jakarta sejak adzan Subuh berkumandang untuk menghadiri undangan liputan salah satu operator CDMA yang akan mengadakan kampanye "Joget Selfie" di Bundaran Hotel Indonesia, memanfaatkan Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB atau car free day).

Kemudian, dalam perjalanan ke lokasi acara, kami mengamati sekumpulan orang yang mengadakan acara pembacaan puisi terutama untuk anak-anak dengan iming-iming suvenir. Ada juga yang membagikan cuma-cuma aksesori maupun kudapan untuk masyarakat yang lewat - biasanya diajak berdoa bersama terlebih dahulu "untuk kemajuan negeri."

Kegiatan tersebut dipecah menjadi kelompok-kelompok kecil dan tersebar di sepanjang Jalan M.H Thamrin, Jl. Sudirman hingga kawasan Monumen Nasional dan Gelora Bung Karno. Betapa masif dan teroganisir kegiatan tersebut untuk ukuran sebuah komunitas yang katanya "Peduli Indonesia" tersebut.

Masalahnya adalah, kami paham maksud sebenarnya komunitas tersebut. Berbagai subliminal message alias pesan terselubung dari bait puisi, lambang pada kalung, tulisan pada syal, untaian doa hingga nyanyian yang mereka lakukan adalah sebuah proses Kristenisasi masal yang menargetkan anak-anak, pemuda-pemudi, hingga orang tua yang terlihat polos.

Kami pun "angkat sejata" dengan mendokumentasikan kegiatan tersebut mengingat apa yang mereka lakukan adalah sebuah tindakan unfair yang melanggar peraturan (Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 tentang Tata cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia).

Dalam Bab III tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama, Pasal 3 berbunyi, "Pelaksanaan penyiaran agama dilakukan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, saling menghargai dan saling menghormati antara sesama umat beragama serta dengan dilandaskan pada penghormatan terhadap hak dan kemerdekaan seseorang untuk memeluk/menganut dengan melakukan ibadat menurut agamanya."

Sementara itu, Pasal 4 berisi, "Pelaksanaan penyiaran agama tidak dibenarkan untuk ditujukan terhadap orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama lain dengan cara:

a. Menggunakan bujukan dengan atau tanpa pemberian barang, uang, pakaian, makanan dan atau minuman, pengobatan, obat-obatan dan bentuk-bentuk pemberian apapun lainnya agar orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama yang lain berpindah dan memeluk/menganut agama yang disiarkan tersebut.

b. Menyebarkan pamflet, majalah, bulletin, buku-buku, dan bentuk-bentuk barang penerbitan cetakan lainnya kepada orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama yang lain.

c. Melakukan kunjungan dan rumah ke rumah umat yang telah memeluk/menganut agama yang lain.

Keputusan tersebut mulai berlaku pada tanggal ditetapkan yakni pada 2 Januari 1979 oleh Menteri Dalam Negeri H. Amir Mahmud dan Menteri Agama H. Alamsjah Ratu Perwira.

Selain peraturan di atas, sebuah laporan menyebutkan terjadi penipuan juga di sana dalam pengerahan massa ke lokasi acara berkedok jalan-jalan gratis. "Kejadiannya pada Ahad lalu, jam 6 pagi puluhan warga disediakan 8 bis dan diajak jalan-jalan gratis ke Jakarta. Bilangnya acara di Kementrian Perindustrian tapi malah dibawa ke Monas. Lalu kawan saya di Jakarta memantau acara tersebut, ternyata memang benar warga Sentul di ajak ke Monas. Di acara bertajuk Gelar Budaya Rakyat tersebut ada stand untuk curhat, setiap orang dipegang pundaknya, diminta menceritakan masalahnya lalu diomongin kalimat-kalimat pemberkatan,” ujar Ustadz Muchtar, pengasuh Ponpes Fajrussalam kepada Suara Islam Online, Selasa malam (5/11/2014).

Video kami menjadi virus (viral) pada saat itu dan hingga tulisan ini dibuat, sudah disaksikan 5,944,656 kali berkat "tercyduk"-nya salah seorang aktivis memaksakan keyakinan kepada seorang pengemis yang melintas di depan Sarinah. Momen tersebut seakan jadi penegas kegiatan yang sengaja bermain di ranah "abu-abu" tersebut. Meski begitu, masih saja banyak orang yang berkomentar negatif terhadap video kami dengan membela aksi tersebut. Rata-rata mereka tidak menyaksikan videonya secara utuh serta tidak membaca deskripsi video yang kami sertakan berisi fakta dan data seputar kegiatan Kristenisasi.

Lalu, akankah kegiatan tersebut berani dilakukan lagi setelah ada jutaan penonton menyaksikan kejahatan mereka tersebut? Dalam kurun tiga tahun terakhir, kami sengaja melakukan beberapa kali "inspeksi mendadak" ke kawasan HBKB Jakarta dan kegiatan serupa tidak lagi ditemukan, termasuk dari Saksi Yehova yang biasanya rutin mendirikan stand di sana.

Hingga beberapa hari lalu kami mendapatkan informasi berupa dua gambar semacam flyer tentang kegiatan bertema serupa: nasionalisme, cinta Indonesia, ditambah kebudayaan dan kesenian yang diklaim untuk memperingati "Hari Tari Sedunia" dan akan dilakukan pada esok (28 April 2018) di kawasan Monumen Nasional.

Kami cukup familier dengan desain grafis dan kata-kata yang mereka gunakan untuk menarik massa untuk datang. Biasanya akan diisi dengan kegiatan pasar rakyat, memecahkan rekor, pengobatan gratis serta berbagai iming-iming door prize dengan hadiah yang menarik bagi masyarakat kelas bawah pada umumnya.

Namun kali ini, kami juga melihat ada logo Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lengkap dengan "Enjoy Jakarta". Meski terlihat janggal, kami pun melakukan klarifikasi pada nara sumber kami yang merupakan orang pemerintahan provinsi tentang kebenaran acara ini diselenggarakan oleh Pemda. Setelah beberapa waktu, rekan kami menjawab lewat pesan WhatApp, "Iya benar acara pemda" lengkap dengan pesan broadcast mengenai acara tersebut.

Meski begitu, kami berencana tetap melakukan liputan khusus ke lokasi pada Sabtu pagi esok. Apalagi ternyata sumber kami tersebut mengirimkan pesan klarifikasi pada hari ini (27/4) yang mempertegas dugaan bahwa kegiatan ini adalah salah satu upaya Kristenisasi terselubung.

bottom of page